Langsung ke konten utama

Makalah cidera leher


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar belakang
Kecelakaan atau cidera dapat terjadi dimana saja, kapan saja dan siapa saja. Menurut Andun Sudijandoko (2000: 31) cidera tersebut ditandai dengan adanya rasa sakit, pembengkakan, kram, memar, kekakuan dan adanya pembatasan gerak sendi serta berkurangnya kekuatan pada daerah yang mengalami cidera tersebut. Sebelum ke Rumah Sakit, pertolongan pertama yang dapat dilakukan adalah evaluasi awal tentang keadaan umum penderita, untuk menentukan apakah ada keadaan yang menancam kelangsungan hidupnya.
Leher merupakan bagian dari kolom fleksibel yang panjang, yang dikenal sebagai kolom atau tulang punggung tulang belakang, yang membentang melalui sebagian besar tubuh. Tulang belakang leher (daerah leher) terdiri dari tujuh tulang (C1 – C7 vertebra), yang dipisahkan satu sama lain oleh diskus invertebralis.
Cedera servikal merupakan penyebab yang paling sering dari kecacatan dan kelemahan setelah trauma. Tulang servikalis terdiri dari 7 tulang yaitu C1 atau atlas, C2 atau axis, C3, C4, C5, C6 dan C7. Benturan keras atau benda tajam yang mengenai tulang servikal ini tidak hanya akan merusak struktur tulang saja namun dapat  menyebakan cedera pada medulla spinalis apabila benturan yang disebabkan ini sampai pada bagian posterior tulang servikal. Struktur tulang servikal yang rusak dapat menyebabkan pergerakan kepala menjadi terganggu. Sedangkan apabila mengenai serabut saraf spinal dapat menghambat impuls sensorik dan motorik tubuh.
Cidera leher dapat terjadi selama kecelakaan kendaraan bermotor, peristiwa traumatis lainnya, atau olahraga. Kecelakaan merupakan penyebab kematian ke empat, setelah penyakit jantung, kanker dan stroke, tercatat ±50 meningkat per 100.000 populasi tiap tahun, 3% penyebab kematian ini karena trauma langsung medulla pinalis, 2% karena multiple trauma. Insidensi trauma pada laki- laki 5 kali lebih besar dari perempuan. Ducker dan Perrot melaporkan 40% spinal cord injury disebabkan kecelakaan lalu lintas, 20% jatuh, 40% luka tembak, sport, kecelakaan kerja. Lokasi fraktur atau fraktur dislokasi cervical paling sering pada C2 diikuti dengan C5 dan C6 terutama pada usia decade 3.
Trauma pada servikal C1 dan C2 dapat menyebakan dislokasi atlanto-servikalis sehingga kepala tidak dapat melalakukan gerakan mengangguk dan apabila menembus ligamentum posterior dan mencederai medulla spinalis maka pusat ventilasi otonom akan terganggu. Cedera pada C3-C5 menyebabkan gangguan pada otot pernapasan dan cedera pada C4-C7 mengakibatkan kelemahan pada ekstremitas (qudriplegia).
Karena sangat pentingnya peranan tulang servikalis pada fungsional tubuh manusia maka evaluasi dan pengobatan pada cedera servikal memerlukan pendekatan yang terintegrasi. Diagnosa dini, prevervasi fungsi spinal cord dan pemeliharaan aligment dan stabilitas merupakan kunci keberhasilan manajemen. Penanganan rehabilitas spinal cord dan kemajuan perkembangan multidisipliner tim trauma dan perkembangan metode modern dari fusi servikal dan stabilitas merupakan hal penting harus dikenal masyarakat.
Oleh karena itu, sebagai tenaga kesehatan harus mampu menguasai dan memmahami pengetahuan tentang asuhan yang dibutuhksn dan tindakan-tindakan yang dilakukan pada pasien dengan cedera servikalis. Sehingga pada tatanan praktiknya, tenaga kesehatan  mampu mengaplikasikan teori dengan baik dan terampil.

1.2  Rumusan masalah
1.      Bagaimana anatomi tubuh manusia ?
2.      Apa yang dimaksud dengan cidera pada leher ?
3.      Bagaimana etiologi dari cidera pada leher ?
4.      Apasajakah tanda dan gejala untuk mengenali cidera pada leher ?
5.      Bagaimanakah Prinsip umum penanganan trauma leher?
6.      Bagaimanakah penanganan cidera pada leher saat pertolongan pertama?
7.      Bagaimanakah penanganan cidera pada leher saat sudah berada di Rumah Sakit ?

1.3  Tujuan
1.      Untuk mendeskripsikan anatomi tubuh manusia.
2.      Untuk mendeskripsikan definisi cidera pada leher.
3.      Untuk menjelaskan etiologi dari cidera pada leher.
4.      Untuk memaparkan cara mengenali tanda dan gejala cidera pada leher.
5.      Unuk memaparkan mengenai Prinsip umum penanganan trauma leher.
6.      Untuk menjelaskan cara penanganan cidera pada leher saat pertolongan pertama.
7.      Untuk menjelaskan cra penanganan cidera pada leher saat telah berada di Rumah Sakit.

BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Anatomi vertebra servikalis
            Tulang belakang servikal terbentuk dari 7 ruas vertebra pertama dari tulang belakang, yang dipisahkan oleh diskus intervertebralis.  Dimulai dari bagian bawah skull dan berakhir pada bagian atas torak. Vertebra servikal terdiri dari C1 sampai C7, sedangkan nervus servikalis terdiri dari C1 sampai C8. Tulang servikal berbentuk “C” terbalik (lordotic view) dan lebih mobile dari tulang belakang di daerah torakal dan lumbal. Vertebra servikalis selain berfungsi melindungi medula spinalis dari kerusakan, juga menyangga kepala, dan menggerakan kepala rotasi, ke depan serta ke belakang. Berbeda dengan tulang belakang yang lain, dalam tulang servikal berjalan arteri vertebralis yang mensuplai darah ke otak, yang hanya melalui vertebra C1 sampai C6 (Anonim, 2008; Eidelson, 2004; Davenport, 2009).
Dua tulang vertebra pertama disebut tulang atlas (C1) dan axis (C2), berfungsi untuk gerakan rotasi. Tulang atlas (C1) memiliki arkus anterior yang tebal , arkus posterior yang tipis dengan 2 prominent masses dan tidak memiliki korpus vertebra. Setiap tulang vertebra memiliki perbedaan secara anatomis, tetapi secara umum tulang vertebra terdiri atas bagian anterior yang disebut korpus dan bagian posterior yang disebut arkus vertebra. Keduanya membentuk foramen vertebrae yang dilalui medula spinalis. Arkus vertebra terdiri atas sepasang pedicle yang membentuk sisi arkus dan lamina yang pipih, yang melengkapi arkus dibagian belakang (Anonim, 2008; Eidelson, 2004; Davenport, 2009).
Di antara setiap vertebra terdapat diskus yang terdiri dari pelindung luar, annulus fibrosus, dan gel didalamnya disebut nukleus pulposus. Diskus ini berfungsi sebagai bantalan atau peredam dan memungkinkan pergerakan antara korpus verterbra. Terdapat berkas serat yang kuat diantara tulang yang disebut ligament longitudinal. Ligamen longitudinal anterior berjalan di depan korpus vertebra dan ligamen longitudinal posterior berada di posterior korpus vertebra, di depan medula spinalis (Anonim, 2010).




Gambar 1. Korpus vertebra C1 (atlas) dan C2 (axis)














Gambar 2. Korpus vertebra C3, C5, C6

2.2 Definisi
Menurut FKUI (2000), fraktur adalah rusaknya dan terputusnya kontinuitas tulang, sedangkan menurut Boenges, ME., Moorhouse, MF dan Geissler, AC (2000) fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang.
Cedera tulang belakang adalah cedera mengenai cervicalis, vertebralis dan lumbalis akibat trauma ; jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas, kecelakakan olah raga dsb ( Sjamsuhidayat, 1997).
Cedera tulang belakang servikal atas adalah fraktura atau dislokasi yang mengenai basis oksiput hingga C2.
Trauma leher adalah suatu benturan yang mengenai bagian leher (tenggorokan) sebagai akibat terkena benda tumpul ataupun benda tajam. Luka terbuka/tertutup pada leher dapat menyebabkan emboli udara.

2.3 Etiologi
Penyebab trauma tulang belakang (leher dan punggung) adalah kecelakaan lalu lintas (44%), kecelakaan olah raga(22%),terjatuh dari ketinggian(24%), kecelakaan kerja. Lewis (2000) berpendapat bahwa tulang bersifat relatif rapuh namun mempunyai cukup kekuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan.
Fraktur dapat diakibatkan oleh beberapa hal yaitu:
1.        Fraktur akibat peristiwa trauma
Sebagian fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba berlebihan yang dapat berupa pemukulan, penghancuran, perubahan pemuntiran ataupenarikan. Bila tekanan kekuatan langsung tulang dapat patah pada tempat yang terkena dan jaringan lunak juga pasti akan ikut rusak. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur lunak juga pasti akan ikut rusak. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit diatasnya. Penghancuran kemungkinan akan menyebabkan fraktur komunitif disertai kerusakan jaringan lunak yang luas.

2.        Fraktur akibat kelelahan atau tekanan
Retak dapat terjadi pada tulang seperti halnya pada logam dan benda lain akibat tekanan berulang-ulang. Keadaan ini paling sering dikemukakan pada tibia, fibula atau matatarsal terutama pada atlet, penari atau calon tentara yang berjalan baris-berbaris dalam jarak jauh.
3.        Fraktur patologik karena kelemahan pada tulang
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal kalau tulang tersebut lunak (misalnya oleh tumor) atau tulang-tulang tersebut sangat rapuh.

2.4 Tanda dan gejala
1.    Ada luka,
2.    Nyeri hebat pada daerah leher,
3.    Sukar berbicara, suara hilang,
4.    Sumbatan jalan nafas,
5.    Deviasi trakea,
6.    Perubahan bentuk

2.5 Prinsip umum penanganan trauma leher
1.      Jangan pindahkan korban yang dicurigai mengalami cedera tulang belakang (leher dan punggung) sseperti patah tulang, dislokasi atau regangan yang berat, kecuali tak terhindarkan. Cegah pergerakan yang tidak perlu.
a.       Stabilkan dan posisikan tubuh pasien dan berikan bantalan dengan selimut atau jaket disekitar kepala, leher dan bahu untuk mencegah gerakan yang tidak perlu. Cegah pergerakan dari bagian bagian tubuh ini.
b.      Tangani cedera lain bila ada seperti perdarahan atau luka bakar.
c.       Jika ada perdarahan hentikan perdarahan dengan menekan pangkal pembuluh nadi leher
d.      Jika ada perdarahan pada tenggorokan segera dibersihkan
e.       Jika perlu, berikan nafas buatan tanpa mengubah posisi korban 
f.        Jaga korban agar tetap hangat dan stabil.
g.      Jangan menggerakan korban kecuali sangat diperlukan
h.      Jangan letakkan bantal dibawah leher korban
2.      Hilangkan konstriksi
a.       Hilangkan/longarkan segala pakaian ketat sekitar leher perlahan
b.      Bila tidak dapat dilonggarkan, potong benda yang menghalangi tersebut dari bagian depan leher agar tidak mengganggu jalur nafas
3.      Panggil bantuan medis professional  (pada cedera tulang punggung)
4.      Pindahkan korban jika hanya dalam kondisi darurat yang lebih mengancam nyawa pasien. Seperti kebakaran, ledakan atau tenggelam. Atau bila bantuan medis professional tidak tersedia dan kondisi sangat serius
Cara memindahkan korban
a.       Gunakan kertas Koran atau karton yang telah dilipat untuk membuat “neck collar” sebagai sanggahan leher
b.      Selipkan lipatan Koran/karton tersebut pada leher korban. Ikatkan atau sambungkan dengan balutan di sekitar leher korban.
c.       Jangan ikatkan terlalu kencang karena akan mempersulit pernafasan dan sirkulasi darah
d.      Jika memungkinkan, selipkan papan kecil di bawah kepala dan bahu pasien dan pungung pasien. Berikan ikatan pada kepala dan dada pasien untuk menjaga kestabilan.
e.       Dengan penolong minimal dua orang, balikkan pasien secara perlahan pada tandu / stretcher, atau selipkan pintu, papan pada bagian bawah dengan menjaga posisi leher, punggung dan tulang belakang tetap pada satu garis lurus.
f.        Pindahkan korban dengan hati-hati pada posisi wajah menghadap ke atas, bila korban muntah atau menjadi tidak sadar, balikkan sisi tubuh pasien dengan hati-hati untuk mengeluarkan muntahan dari mulut korban.

2.6 Penanganan fraktur servikal
1. Penatalaksanaan awal
Pasien dengan fraktur servikal biasanya memiliki beberapa trauma, sehingga perlu dilakukan stabilisasi segera di tempat kejadian. Penatalaksanaan pertama cedera servikal berdasarkan prinsip umum ATLS (advanced trauma life support) yaitu evaluasi awal berdasarkan primary survey ABCD (airway and C-spine control, breathing and ventilatory, circulation and stop bleeding, disability and environment).  Bila airway  tidak adekuat, perlu dilakukan intubasi tanpa menggerakkan kepala (C-spine protection). Evaluasi dan assesmen berulang diperlukan pada pasien dengan trauma kepala dan karena pasien dengan kesadaran menurun tidak dapat mengetahui adanya nyeri pada leher.  Bila stabil dilanjutkan ke secondary survey (head to toe examination) (Foster, 2009; Mahadewa, 2009; Anonim, 2001(b)).
Manajemen awal pasien dengan cedera servikal dimulai di tempat kejadian. Perhatian utama selama penatalaksanaan awal adalah adanya gangguan fungsi neurologi karena gerakan yang patologis (trauma). Diperkirakan 3% sampai 25% trauma medula spinalis terjadi saat awal trauma,  saat transit atau pada saat penatalaksanaannya. Telah dilaporkan beberapa kasus dengan outcome yang buruk karena kesalahan penanganan cedera servikal (Anonim, 2001(b)).  
Stabilisasi tulang belakang, manajemen hemodinamik dan gangguan otonom sangat penting pada trauma akut. Prinsip khusus penatalaksanaan cedera servikal adalah reposisi/realignment, imobilisasi, dan fiksasi tulang belakang sesuai indikasi. Semua pasien dengan cedera servikal atau yang potensial untuk cedera servikal, harus dilakukan imobilisasi sampai dieksklusi adanya trauma servikal. Bila terdapat kecurigaan trauma, stabilisasi kepala dan leher secara manual atau dengan collar. Beberapa alat yang direkomendasikan American College of Surgeons dapat digunakan untuk imobilisasi pre-hospital adalah hard backboard, rigid cervical collar, dan pita pengikat. Imobilisasi ini dapat mengurangi gerakan sehingga menurunkan morbiditas, karena gerakan patologis (trauma) pada servikal menyebabkan kerusakan pada medula spinalis atau radiks saraf. Teknik imobilisasi dan penanganan pasien pre-hospital yaitu tulang belakang harus dilindungi selama manajemen pasien dengan trauma multipel. Posisi ideal adalah imobilisasi seluruh tulang belakang posisi netral dengan permukaan yang keras. Dapat dilakukan secara manual, servikal collar semi rigid, side head support dan pengikat. Pindahkan pasien secara hati-hati menggunakan logroll technique untuk mencegah displacement ke arah lateral. Papan spine direkomendasikan, juga dapat digunakan bantal, head blocks. Traksi untuk mendapatkan dan mempertahankan alignment yang baik, imobilisasi eksternal untuk stabilisasi sementara dan farmakoterapi untuk meminimalisasi cedera sekunder (Gondim, 2009; Mahadewa, 2009; Anonim, 2001(b))
Sasaran jangka panjang adalah penanganan komplikasi gastrointestinal (ileus, konstipasi), genitourinarius (urinary tract infection, hidronefrosis), dermatologi (dekubitus), dan muskuloskeletal (fraktur, nyeri akut dan kronis). (Gondim, 2009).

2. Traksi dan imobilisasi
            Pada fraktur sevikal dengan malalignment, sebelum terapi definitif, dilakukan pemasangan servikal traksi dengan Crutchfield traction atau Halo Tong Traction dengan beban sesuai dengan level kerusakan segmen servikalnya. Halo vest sering digunakan sebagai alat definitf eksternal fiksasi untuk cedera spinal servikal. Philadelphia collar  bersifat semi rigid, sintetik foam brace dimana pada dasarnya membatasi fleksi dan ekstensi tetapi membebaskan rotasi. Miami-j collar bersifat lebih kaku dan lebih nyaman untuk sandaran. Brace yang adekuat melakukan imobilisasi adalah Thermoplastic Minnerva Body Jacket (TMBJ) dan halo vest. TMBJ lebih baik dalam membatasi fleksi dan ekstensi dan lebih nyaman dibandingkan halo vest, sedangkan halo vest  lebih baik membatasi rotasi. Pasien cedera servikal diberikan imobilisasi untuk mencegah penekanan medula spinalis lebih lanjut (Mahadewa, 2009)









Gambar 4. Philadelphia collar, Miami J collar









Gambar 5.  Halo Tong Traction, Thermoplastic Minnerva Body Jacket

2.7 Penanganan pada saat di Rumah Sakit
1. Medikamentosa
            Obat yang diberikan pada pasien cedera servikal adalah golongan kortikosteroid. Steroid berfungsi memperbaiki cedera medula spinalis dan diberikan pada 8 jam pertama setelah cedera. Methylprednisolon dapat menurunkan respon inflamasi dengan menekan migrasi polymorphonuclear (PMN) dan menghambat peningkatan permeabilitas vaskular. Dosis yang diberikan 30 mg/kgbb intravena dalam 15 menit pertama diikuti 45 menit berikutnya dengan dosis 5,4 mg/kgbb/jam selama 23 jam (Mahadewa, 2009; Cohen, 1997).

2. Bedah
            Bila terdapat tanda kompresi pada medula spinalis karena deformitas tulang, fragmen tulang, atau hematom, diperlukan tindakan dekompresi. Tujuan terapi awal adalah untuk dekompresi medula spinalis dengan memperbaiki diameter sagital normal dari kolumna vertebralis. Berkurangnya dislokasi baik parsial atau komplit juga akan mengurangi nyeri. Dislokasi yang disertai instabilitas tulang belakang memerlukan tindakan reposisi dan stabilisasi. Indikasi operasi cedera servikal adalah (Mahadewa, 2009):
·         Reduksi terbuka dislokasi dengan atau tanpa disertai fraktur pada daerah servikal, bilamana traksi atau manipulasi gagal
·         Adanya fraktur servikal dengan  lesi parsial medula spinalis, dengan fragmen tulang tetap menekan permukaan anterior medula spinalis, meskipun telah dilakukan traksi yang adekuat
·         Trauma servikal dengan lesi parsial medula spinalis, dimana tidak tampak adanya fragmen tulang dan diduga terdapat penekanan medula spinalis oleh diskus intervertebralis. Perlu dilakukan pemeriksaan myelografi dan CT Scan  untuk membuktikannya
·         Fragmen yang menekan lengkung saraf
·         Adanya benda asing atau fragmen tulang dalam kanalis spinalis
·         Lesi parsial medula spinalis yang memburuk setelah mulanya dengan cara konservatif maksimal menunjukkan perbaikan, harus dicurigai adanya hematoma
·         Jika masih terdapat kelemahan motorik yang signifikan setelah suatu periode perbaikan
·         Jika terdapat instabilitas spinal
            Pembedahan darurat dilakukan bila terdapat gangguan neurologis progresif akibat penekanan dan pada luka tembus. Pembedahan akan mengurangi kemungkinan terjadinya penyulit tetapi tidak harus dilakukan sebagai tindakan darurat. Pasien dengan kompresi sekunder dari herniasi diskus akibat trauma harus segera didekompresi. Cedera medula spinalis akibat osteofit, penebalan ligamen flavum, atau stenosis tidak memerlukan operasi segera. Terdapat 3 indikasi utama untuk melakukan tindakan operasi yaitu untuk dekompresi elemen saraf, koreksi deformitas, dan stabilisasi segmen (Mahadewa, 2009; Cohen, 1997) .
















Gambar 6. Gambaran radiologis fraktur cervical
Imaging Cervical trauma









Gambar 7. Gambaran radiologis fraktur cervical
Imaging Cervical trauma

3. Rehabilitasi
            Rehabilitasi dilakukan sedini mungkin untuk mencegah timbulnya komplikasi, mengurangi kecacatan, dan menyiapkan penderita kembali ke masyarakat. Tim rehabilitasi yang diperlukan terdiri dari dokter (ahli bedah saraf, ahli bedah tulang),  perawat, fisioterapis, petugas sosial, psikolog, ahli terapi kerja.
            Program rehabilitasi dapat dibagi 2 tahap. Tahap pertama pada fase akut yaitu semasa pasien dalam pengobatan yang intensif, terutama dikerjakan oleh perawat dan fisioterapis. Tindakan yang dilakukan pada tahap ini adalah latihan, masase, memelihara jalan nafas, merawat gangguan miksi dan defekasi. Tahap kedua adalah rehabilitasi jangka panjang dengan tujuan mengembalikan penderita kembali ke masyarakat, yang meliputi menyiapkan keadaan mental penderita agar tetap dapat berkarya walaupun cacat, edukasi pada penderita dan keluarga tentang perawatan di rumah, latihan cara makan, berpakaian, miksi dan defekasi, latihan menggunakan alat bantu, alih pekerjaan sesuai dengan kondisi penderita.
·         Terapi fisik dilakukan untuk pemulihan ROM (range of motion) dan meningkatkan kemampuan mobilitas. Hal terpenting adalah memperkuat otot ekstremitas atas, juga menjaga keseimbangan dan stabilitas tubuh. Otot ekstremitas atas biasanya lebih parah dari ekstremitas bawah, maka pasien akan kesulitan untuk menggunakan alat bantu berjalan yang membutuhkan bantuan tangan.
·         Terapi rehabilitasi kerja ditujukan untuk perbaikan kemampuan dalam menjalankan aktivitas sehari-hari, memperkuat ekstremitas atas, dan perbaikan ROM. Bidai digunakan untuk mempertahankan posisi fungional tangan dan kaki juga mencegah kontraktur.
·         Terapi bicara diberikan untuk pasien yang mengalami disfagia akibat pemakaian alat-alat untuk mempertahankan stabilitas servikal atau akibat fusi servikalis anterior. Pasien diajarkan cara menelan agar tidak memperparah disfagi dan mencegah aspirasi. (Mahadewa, 2009)

4. Penanganan kasus khusus
a.      Autonomic dysreflexia
Merupakan keadaan akut akibat stimulasi masif simpatis. Terjadi setelah syok spinal, biasanya dalam 6 bulan pertama sampai 1 tahun. Gejala yang timbul berupa hipertensi, sakit kepala, muka merah, berkeringat, hidung buntu, piloereksi, dan bradikardi. Penyebabnya adalah distensi bladder dan bowel, atau tindakan kateterisasi, mengorek skibala, penekanan ulkus dekubitus, infeksi saluran kencing, penggunaan brace atau pakaian terlalu ketat. Tindakan yang dilakukan adalah tinggikan posisi kepala, monitor tekanan darah, kurangi stimulus noksius dan evaluasi faktor penyebab. Jika tidak ada perbaikan, terapi untuk menurunkan tekanan darah (Mahadewa, 2009; Krishblum et al, 2004).
b.      Nyeri neuropatik
Pasien dengan cedera medula spinalis dapat mengalami alodinia di bawah level injury. Penanganannya dengan mengevaluasi dan menghilangkan faktor-faktor pencetus seperti infeksi dan pressure ulcer. Terapi dengan pemberian obat anti konvulsan (Mahadewa, 2009; Krishblum et al, 2004).
c.       Spastisitas
Awalnya pasien akan mengalami penurunan tonus saat periode spinal syok, tetapi kemudian akan mengalami spastisitas. Program peregangan dan posisi tidur yang benar dapat mengurangi spastisitas dan mencegah kontraktur. Pemberian terapi antispasme diberikan bila spasme otot menimbulkan perasaan tidak nyaman (Mahadewa, 2009).
d.      Pressure ulcer
Menurunnya fungsi sensoris mengakibatkan timbulnya pressure ulcer karena penekanan pada kulit. Pencegahan yang dilakukan adalah meminimalisasi penekanan pada kulit (mengunakan kasur khusus, melapisi penonjolan tulang dengan bantal), merubah posisi secara teratur. Jika ulkus semakin parah, bila perlu dikonsulkan ke bagian bedah plastik(Mahadewa, 2009; Cohen, 1997).
e.       Neurogenic bladder
Pasien dengan cedera medula spinalis sering mengalami retensi urin sehingga memerlukan pemasangan kateter. Jika penderita sudah stabil, kateter dapat dilepas dan dilakukan latihan pengendalian kandung kemih. Dapat dipasang kateter intermiten, bila diperlukan. Fungsi kandung kemih biasanya kembali setelah 6 bulan, tetapi jika tidak kembali pasien diajarkan untuk memasang kateter sendiri saat rangsangan berkemih datang (Mahadewa, 2009; Krishblum et al, 2004).
f.        Neurogenic bowel
Pasien cedera akut beresiko mengalami gastric atoni dan ileus yang dapat menyebabkan muntah dan aspirasi. Ileus dapat terjadi pada 1-2 hari pertama dan berakhir pada hari ke-7. Pada fase kronis dapat terjadi distensi colon, distensi abdomen, konstipasi, mual, muntah dan gangguan elektrolit. Berikan latihan pengontrolan defekasi secara teratur karena terjadi penurunan kemampuan kontrol terhadap defekasi, juga pemberian serat dan cairan yang cukup untuk menghindari konstipasi atau inkontinensia. Lakukan evakuasi feses dengan stimulasi colok dubur atau metode lain (Mahadewa, 2009; Krishblum et al, 2004).

5. Follow up
            Tujuan utama jangka panjang adalah mencegah komplikasi medis, yang  merupakan alasan dari 30% pasien cedera medula spinalis memerlukan perawatan rumah sakit (Gondim, 2009; Mahadewa, 2009)
·         Monitor tekanan darah. Biasanya pasien dibuat hipertensi ringan untuk meningkatkan aliran darah ke medula spinalis pada 12-24 jam pertama. Untuk mencegah iskemik medula spinalis, ideal mean arterial presurre diatas 70mmhg.
·         Pencegahan infeksi nosokomial dan pemberian antibiotika sesuai indikasi
·         Perawatan kulit untuk mencegah ulkus dekubitus, penggunaan kasur khusus, perlu sering dilakukan gerakan alih baring
·         Berikan profilaksis untuk DVT (deep vein thrombosis) dengan LMWH (low molecular weight heparin)
·         Management cairan, elektrolit,dan nutrisi
·         Mengatasi nyeri dan kecemasan
·         Profilaksis gastrointestinal terhadap terjadinya ulkus. Pasien dengan cedera medula spinalis memiliki insiden stress ulcer yang tinggi, dan diperburuk dengan pemberian obat kortikosteroid pada fase akut.
·         Pemasangan foley catheter bila terjadi retensi urin
           

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Penanganan awal pasien dengan cedera servikal dimulai di tempat kejadian. Penatalaksanaan pertama cedera servikal berdasarkan prinsip umum ATLS (advanced trauma life support) yaitu evaluasi awal berdasarkan primary survey ABCD (airway and C-spine control, breathing and ventilatory, circulation and stop bleeding, disability and environment). Perhatian utama selama penatalaksanaan awal adalah adanya gangguan fungsi neurologi karena gerakan yang patologis (trauma). Diperkirakan 3% sampai 25% trauma medula spinalis terjadi saat awal trauma,  saat transit atau pada saat penatalaksanaannya. Prinsip khusus penatalaksanaan cedera servikal adalah reposisi/realignment, imobilisasi, dan fiksasi tulang belakang sesuai indikasi.
Obat yang diberikan pada pasien cedera servikal adalah golongan kortikosteroid. Bila terdapat tanda kompresi pada medula spinalis karena deformitas tulang, fragmen tulang, atau hematom, diperlukan tindakan dekompresi. Rehabilitasi dilakukan sedini mungkin untuk mencegah timbulnya komplikasi, mengurangi kecacatan, dan menyiapkan penderita kembali ke masyarakat. Sasaran jangka panjang adalah penanganan komplikasi gastrointestinal (ileus, konstipasi), genitourinarius (urinary tract infection, hidronefrosis), dermatologi (dekubitus), dan muskuloskeletal.

3.2 Saran
Bagi tenaga kesehatan dalam setiap menangani pasien dengan fraktur servicalis / cedera leher harus menggunakan penanganan yang sesuai dengan kebutuhn pasien agar tidak memperburuk kondisi pasien.
Bagi penulis, penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan pada makalah ini. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun bagi makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Andropause

BAB I PENDAHULUAN 1.1     Latar Belakang Andropause atau kadang disebut “menopause pria” umumnya terjadi pada pria separuh baya, kira-kira waktunya sama ketika seorang wanita mengalami menopause. Namun tidak seperti menopause pada wanita, dimana hormon estrogen mengalami penurunan secara tiba – tiba, hormon testosteron pada pria menurun perlahan sesuai dengan pertambahan usia (proses penuaan). Penurunan dimulai usia 30 tahunan, menurun sekitar 1-2% walaupun bervariasi pada tiap individu. Andropause dialami setengah dari pria yang berusia 50 tahun ke atas. Namun usia Andropause dipengaruhi banyak faktor, diantaranya gaya hidup. Jika hidupnya selalu senang atau sehat, Andropause dialami pada usia lebih tua lagi. Jika gaya hidupnya tidak sehat, misalnya merokok, mengonsumsi minuman keras, seseorang akan lebih cepat mencapai Andropause (Saryono, 2010: 67). Pria selama ini tidak mengetahui tanda gejala dari Andropause sehingga para pria sering meminum obat “kuat” unt...

ASUHAN KEBIDANAN PADA IBU NIFAS

BAB II TINJAUAN TEORI 2.1   Konsep Teori Masa Nifas 2.1.1         Pengertian Masa nifas (puerperium) adalah masa yang dimulai setelah plasenta keluar dan berakhir ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan semula (sebelum hamil). Masa nifas berlangsung selama kira-kira 6 minggu. (Sulistyawati, 2015). Masa nifas atau pueperium berasal dari bahasa latin yaitu dari kata "puer" yang artinya bayi dan "parous" yang artinya melahirkan. definisi masa nifas adalah masa dimana tubuh ibu melakukan adaptasi pasca persalinan , meliputi perubahan kondisi tubuh ibu hamil kembali kekondidi sebelum hamil. masa ini dimulai setelah plasenta lahir, dan sebagai penanda berakhirnya masa nifas adalah ketika alat-alat kandungan sudah kembali seperti keadaan sebelum hamil. sebagai acuhan rentang masa nifas berdasarkan penanda tersebut adalah 6 minggu atau 42 hari. (Astuti, dkk. 2015) Masa nifas disebut juga masa post partum atau peurperium adalah ma...